Serendipity; serein.
--
Semenjak kejadian itu, di mana ia memutuskan hubungannya dengan mantan kekasihnya, Warsa menjadi pribadi yang lebih pendiam. Beruntungnya saat itu dirinya sedang mengerjakan tugas akhir, yang tidak mengharuskannya sering pergi ke universitas sehingga mengurangi kesempatan untuk bertemu dengan mantannya itu secara tidak sengaja.
Warsa lebih senang mengurung diri di kos-kosan yang ia tinggali, sesekali berkumpul bersama sahabatnya namun ia akan dijemput oleh teman-temannya itu, sebisa mungkin tidak membiarkan Warsa bepergian sendiri.
Beberapa minggu setelahnya, Warsa mulai bangkit dari terpuruknya. Lebih banyak tersenyum ketika diajak berbicara oleh teman-temannya, wajahnya tidak lagi sembab dan pucat karena terlalu sering menangis. Johan, Harsa, dan Juned tentu senang akan perubahan temannya itu. Mereka berempat lebih sering menghabiskan waktu bersama, mengerjakan revisi bersama-sama, pergi ke sana kemari menjelajahi tempat makan yang sedang ramai diperbincangkan. Banyak hal yang diusahakan teman-temannya agar Warsa kembali seperti sediakala.
Pada akhirnya, semua upaya itu berbuah manis. Senyum Warsa kembali cerah meskipun harus menunggu berbulan-bulan lamanya. Meski tak sepenuhnya lupa dan sesekali ia termenung mengingat mantan kekasihnya, setidaknya Warsa sudah menjadi lebih kuat dari sebelumnya, ia tak lagi menangis ketika bayangan dari kejadian itu kembali menghampiri alam bawah sadarnya.
Hingga hari kelulusan pun tiba, Warsa dan ketiga sahabatnya lulus tepat waktu. Keempatnya berpelukan di tengah lapang yang juga riuh dengan manusia-manusia lainnya—yang juga merayakan hari kelulusan sama seperti dirinya.
Celetukan dari Warsa sempat membuat ketiga temannya itu terdiam, “Aku mau ke surabaya. Aku diterima kerja di sana hehehe,” dengan menampilkan tawa kecilnya, Warsa memberitahukan kepergiannya.
Harsa bersungut ketika melihat Warsa tertawa seperti tak berdosa, “Anjir, bisa-bisanya ya ini bocah!” ucap Harsa, yang ditimpali oleh Juned dengan, “Gak sekalian lo kabarin kita waktu H-1 berangkat?? Cih!” Juned mendecih, tangannya bersedekap di depan dadanya.
“Maaf… Habisnya aku juga gak yakin keterima, eh ternyata kemarin pagi aku dapat offering letter. Sekalian aku mau sembuh dulu dari semuanya, jadi aku pikir itu keputusan yang baik buat aku… Biar gak keinget dia terus…” Warsa menjelaskan, kalimat terakhirnya ia ucapkan dengan sendu. Membuat Harsa dan juga Juned jadi tidak tega dan kembali memeluk tubuh ringkih itu.
Johan yang sedari tadi hanya diam mendengarkan dan berusaha mengerti pun akhirnya ikut memeluk Warsa, “Iya, Warsa… Kalau udah sembuh, pulang ke kita, ya?” Johan berujar demikian sembari menepuk-nepuk pelan surai gelap Warsa.
“Iya… Doain yang terbaik buat aku, aku pun bakalan doakan yang terbaik untuk kalian. Nanti aku sering-sering berkabar di grup kok! Tenang aja.”
Dengan begitu, keempatnya menghabiskan sisa satu minggunya untuk bepergian bersama. Menciptakan kenangan sebaik mungkin dengan Warsa di sisa-sisa hari sebelum keberangkatannya.
Ah, Warsa sadar dari lamunannya saat tak sengaja lengannya disenggol seseorang. Saat ini ia sedang menunggu kedatangan bus berwarna merah yang biasa ia gunakan sebagai transportasi untuk ke kantornya. Halte sore itu tidak ramai, hanya ada dirinya dan satu laki-laki yang baru saja menyenggol lengannya. Laki-laki itu sudah meminta maaf pada Warsa dan kembali sibuk dengan ponselnya saat dirinya mendapatkan kalimat, “Iya, gapapa, Mas.” dari Warsa.
Warsa cukup senang bisa tinggal di kota ini, karena transportasi umum di sini tidak terlalu digunakan oleh warganya, ia jadi bisa duduk dengan lega di manapun ia menaiki bus tanpa bersusah-payah berdesakan dengan orang lain.
Langit sore itu nampak cerah, tidak banyak awan membuat sinar matahari berwarna oranye itu memantul langsung pada jalanan. Yang tanpa Warsa duga, gerimis datang tiba-tiba. Mulutnya bergumam kecil sebab ia tidak membawa payungnya hari ini. Karena perkiraan cuaca hari ini akan terik sewaktu Warsa mengeceknya tadi pagi, membuatnya memutuskan untuk meninggalkan payungnya di kos.
“Mas? Pakai payung saya aja,” lelaki yang menyenggolnya tadi menyodorkan payung lipat berwarna hitam. Warsa berjengit kaget.
“Eh…? Gak perlu, Mas. Gapapa, nanti saya mampir minimarket buat beli,” Warsa menolak halus, mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati lelaki di sampingnya.
Setelah penolakan dari Warsa, lelaki itu pun diam. Tidak ingin memaksa jadi ia hanya memperhatikan Warsa dari ujung matanya.
Mingyu, lelaki yang tadi menawarkan payungnya pada Warsa. Kini duduk berseberangan dengan pria manis yang tak dikenalnya itu. Bus saat itu hanya terisi beberapa orang saja, rintik air yang mulanya turun sedikit kini menjadi lebih banyak. Meninggalkan jejak basah pada jalanan juga kaca bus yang ditumpangi.
Mingyu terus saja memperhatikan pria manis di seberangnya. Rasa-rasanya ia jadi merindukan sahabatnya. Wonwoo dan lelaki itu memiliki fitur wajah yang mirip, bahkan tingginya pun hampir sama, hanya saja Wonwoo—sahabatnya memiliki bahu lebih kecil sedikit dari lelaki yang ia perhatikan.
Sedikit banyak Mingyu khawatir melihat lelaki manis itu, wajahnya nampak pucat dan sendu namun ia tak berani mengajaknya berbicara lebih dulu. Takut jikalau lawan bicaranya nanti ternyata tidak ingin diganggu.
Gerimis kerap yang berubah menjadi hujan menemani perjalanan keduanya. Warsa hanya duduk termenung bersandar pada kaca jendela bus, sesekali menghela napas berat saat ia kembali diingatkan oleh sosok yang menyakitinya.
Saat menaiki bus, manik Warsa sempat bertemu seperkian sekon dengan lelaki yang sempat menawarkan payungnya. Ingatan itu kembali, saat Warsa mendengar hal terburuk — yang pernah terjadi di dalam hidupnya diucapkan oleh salah satu manusia yang paling ia kasihi.
Warsa coba menghilangkan suara-suara mantan kekasihnya itu dari kepalanya, menyibukkan diri dengan ponsel yang menampilkan video lucu. Yang sialnya, bukannya terhibur ia malah semakin teringat saat dulu ia dan Meru masih baik-baik saja. Ia pejamkan matanya, mencoba menahan tangisnya agar tidak meluruh lagi untuk kesekian kali.
“Mas, saya turun duluan. Payungnya kamu pakai ya? Kamu pucat begitu, saya gak tega lihatnya. Oh, dan juga itu coba lihat kacanya. Sampai ketemu lagi, Mas.”
Di pahanya sudah tergeletak payung hitam, Warsa tak sempat menolak pun berterima kasih sebab saat ia membuka matanya, lelaki tadi yang ia jumpai di halte yang juga menawarkan payungnya itu sudah turun dan berlari menghindari hujan.
Akhirnya hanya helaan napas yang terdengar darinya, dalam hati Warsa mengucapkan banyak terima kasih pada lelaki baik hati itu. Ia tolehkan kepalanya, melihat pada kaca bus yang berembun di belakangnya. Satu senyum tipis terbit dari bibirnya saat melihat ada sebuah emotikon tersenyum yang digambar pada kaca berembun itu.
Lagi, Warsa ucapkan juta terima kasih dalam hati untuk si lelaki baik hati.