Jealousy; a tie, at the basement.

Asmaraloka.
5 min readDec 6, 2023

--

content warning: kissing.

Acara akhir tahun yang diadakan oleh kantor berjalan sangat meriah. Dipandu oleh Naru dan Sail, dari awal hingga akhir acara berjalan begitu menyenangkan. Ada mini games, live music yang penyanyinya adalah pegawai di kantor itu sendiri, makan bersama, dan juga pemberian penghargaan untuk best employee tahun ini.

Naru yang seharian ke sana kemari kini terduduk lesu di sudut ruangan. Teman-temannya masih asik berbincang sembari memakan hidangan yang disediakan. Energinya seolah tersedot habis, dan tak bersisa sama sekali.

“Miko!” senyum Naru merekah ketika ia lihat kekasihnya berjalan mendekatinya. Begitu sampai, dahinya diusap lembut oleh Miko, menghilangkan jejak-jejak basah keringat.

“Kok di sini?” Miko bertanya, tangannya menarik salah satu kursi lalu duduk di dekat Naru.

“Capek banget, badanku gak napak rasanya,” jawab Naru. Miko mengangguk menanggapi, “Mau pulang sekarang aja? Udah selesai juga kan.”

“Ayo deh. Tapi nanti mampir beli ladyfinger dulu bo — ”

“Naru!”

Belum sempat Naru selesaikan perkataannya pada Miko, ada suara melengking menyerukan namanya. Sontak Naru menoleh pada asal suara.

Ada tiga wanita tengah berjalan ke arah mereka berdua. Miko mengernyit heran, dan Naru hanya mengangkat bahu. Ia juga tak tahu.

“Kenapa, Mbak?” Naru bertanya. Satu wanita yang ada di tengah maju satu langkah, menyodorkan ponselnya lalu berkata, “Foto bareng dong, Ru. Lo lucu banget hari ini, make upnya juga cakep. Naksir dah gue,” ucapnya. Sedang dua temannya itu mengangguk antusias.

“Mik, pinjem cowok lo bentar, ya?” wanita berambut sebahu yang paling kanan menyeletuk. Miko berusaha biasa saja meski jauh di lubuk hatinya ada sedikit rasa tak rela. Jadi, Miko hanya mengangguk dan melihat kekasihnya dibawa pergi oleh ketiga perempuan tadi.

“Susah ya punya cowok cantik …” gumam Miko.

Naru dibawa oleh ketiga rekannya tadi ke spot foto yang ada di dekat pintu masuk. Sudut mata Miko mengawasi kekasihnya yang tengah disentuh pada area wajahnya. Para wanita itu terlihat sedang mencubit pipi Naru bergantian sebelum berpose dan mengambil beberapa foto bersama.

“Eh, Naru, dasi lo miring tuh — ” wanita yang Naru kenal sebagai Mbak Rere itu dengan sigap menariknya lalu membetulkan dasinya yang nampak miring.

Terkejut? Tentu saja, mata Naru melotot begitu Mbak Rere seperti tak berjarak dengannya. Maniknya melirik ke tempat Miko berada. Mati gue … begitu batinnya saat ia lihat wajah Miko yang kurang bersahabat.

Bisa Naru lihat dari sudut matanya kalau Miko sedang berjalan ke arah mereka. Terlihat bersungut nan kesal, Naru paham maka dengan cepat pula ia mundur menjaga jarak. Mbak Rere seolah tak sadar dan berlanjut mengajaknya mengambil beberapa foto lagi.

“Udah, Mbak. Laki gue kecapekan, kita mau pulang,” nada bicaranya ketus, Miko dengan cepat meraih pergelangan kekasihnya dan mengajaknya berlalu dari sana.

“Yah, Mik — ”

Bye, Mbak. Gue duluan!” Naru berbalik sebentar untuk melontarkan ucapannya.

Langkah Miko yang tergesa itu membuat Naru kewalahan, kakinya tak se-panjang milik kekasihnya. “Miko pelan …” Miko berhenti mendadak, berbalik, kemudian ia gendong Naru bak koala. “Miko!! Malu, Miko! Turunin!!!”

“Diem dulu,” terdengar dingin dan Naru bergeming. Tak ingin protes lagi daripada lelakinya nanti semakin tak enak hati. Lalu, Naru tenggelamkan wajahnya di balik ceruk leher sang kekasih.

Beruntungnya lorong yang dilewati juga lift sedang sepi. Membuat Naru menghela napas lega.

Begitu sampai di parkiran basement, Miko menurunkan Naru. Dibukanya pintu penumpang belakang dan ia perintahkan kekasihnya itu untuk segera masuk. Miko turut masuk ke dalam mobil. Mengatur napasnya sejenak akibat kekesalan yang memuncak.

Miko itu jarang sekali cemburu, satu tahun menjalin hubungan dengannya, hanya beberapa kali saja Miko memperlihatkan dengan jelas cemburunya. Tidak seperti Naru yang sangat sensitif jika ada yang mendekati Miko. Selama Naru tak pernah merespon seseorang yang tengah menggodanya, Miko tak masalah. Berbeda lagi ketika ada yang menyentuh Narunya, Miko tidak suka. Tak jarang pula ia kesal dan mengomel saat ada beberapa rekan kerja Naru menggemasi kekasihnya yang terlampau lucu itu. Entah mencubiti pipi Naru, mencoleknya, atau bahkan mengusak puncak kepalanya. Miko tak terima, Miko tak suka sebab Naru adalah miliknya.

“Jangan marahi aku … kan aku gak tau, Miko,” Naru merengek pelan, matanya sedikit berkaca-kaca guna meluluhkan kekasihnya.

“Aku gak suka punyaku disentuh-sentuh gitu.”

“Kan tadi aku juga udah usaha ngelak waktu mereka cubitin pipi aku … aku harus gimana dong, Miko, gak enak juga kalau aku nepis mereka kan.”

Miko tepuk pahanya pelan, “Naik sini,” perintahnya. Naru menurut dan dengan cepat ia berpindah ke pangkuan Miko.

“Ini yang aku sayang-sayang tiap hari, enak aja sembarangan dicubit orang. Sakit nggak pipinya, Naru?” jempolnya bergerak mengusap pelan pipi gembil Naru.

“Miko nggak marah lagi…?”

“Nggak, sayang. Aku masih marahnya ke mereka bukan ke kamu. Maaf ya?” Naru hanya mengangguk sebagai jawaban. “Besok-besok aku tempelin kertas tulisannya ‘Dilarang pegang-pegang, hak milik Miko’ di punggung kamu.”

Gelak tawa Naru memenuhi mobil, “Lebay!” ucap Naru di sela tawanya. Miko pun terkekeh pelan, kembali ia usap pipi yang menjadi favoritnya untuk mendaratkan kecup itu.

“Jadi beli ladyfinger dulu, sayang?”

“Jadi lah! Mau stock kopi juga, punya kamu sisa dikit.” Benar, sampai sekarang Naru kerap membawakan Miko kopi meski tidak setiap hari seperti dulu ketika ia tengah mendekatinya.

“Oke, bayar dulu bensinnya.”

“Idih perhitungan banget sih, Miko …”

“Pakai cium, maksudnya — ” Miko tarik dasi berwarna hitam yang dikenakan Naru untuk mendekatkan wajah mereka.

“Harus banget dasinya ditarik gitu???” Naru terkikik. “Emangnya Mbak Rere aja yang bisa?” balas Miko, sudut bibirnya naik sebentar sebelum ia jatuhkan kecup pada ranum Naru.

“Tapi Mbak Rere gak bisa pangku aku apalagi cium-cium aku gini. Cuma Miko yang bisa dan boleh,” selesai dengan ucapannya, tanpa menunggu Miko menjawab, Naru memutus jarak di antara keduanya.

Bibirnya yang terpoles tint balm itu mendarat sempurna di atas milik kekasihnya. Naru tersenyum dibalik tautan mereka, begitu juga dengan Miko. Maniknya seolah tenggelam jauh ke dalam galaksi milik Naru.

Ranum keduanya mulai bergerak, saling melumat pelan menciptakan bunyi basah. Lidah Naru merangsek lebih dulu, mengajak milik kekasihnya beradu. Membelit, menyecap apa saja yang bisa ia cecap di dalam sana.

Tangan besar Miko yang semulanya menarik dasi Naru, kini sepenuhnya menggenggam erat kedua sisi pinggang ramping lelakinya. Meremas pelan begitu bibir bawahnya disesap cukup kencang oleh sang kekasih. Sedang Naru menyalurkan nikmat dari ciuman keduanya pada rambut pendek Miko, tak banyak yang bisa ia genggam, namun masih bisa Naru selipkan jari-jarinya untuk dijambak pelan.

“Shh … Naru, udah, nanti bablas,” Miko yang lebih dulu melepas tautan keduanya kala ia rasa atmosfer di dalam mobil melonjak.

Benar saja, Naru sepenuhnya merah, wajahnya memanas. Cepat-cepat ia tepuk pelan pipinya bersamaan. Menghilangkan gelenyar aneh yang membuatnya tinggi.

I love you?” Miko kecup sekali lagi ranum kemerahan Naru sebelum ia usap belah basah itu dengan ibu jarinya.

I love you, Miko.”

Setelah dirasanya suhu tubuhnya normal, Naru tepuk pelan dada kekasihnya itu. Senyumnya merekah sempurna, “Let’s go kita belanja!”

--

--

Asmaraloka.
Asmaraloka.

Written by Asmaraloka.

Imajinasi yang tertuang menjadi kata; menyatu membentuk sebuah cerita. Apa yang ada di sini, jangan diambil hati, ya?

No responses yet