II. And the truth.
Sepuluh hari sudah sang Duke menghilang, Pangeran semakin mengkhawatirkan keadaan Dukenya. Tidurnya kerap kali dihampiri mimpi buruk, seperti sang Duke yang telah pergi selamanya dari dunia, pula ia bermimpi kalau sang Duke kini sudah bahagia bersama istri juga anaknya. Wynno sering kali terbangun tengah malam saat mimpi itu datang, memaksa tubuhnya sendiri agar tetap terjaga hingga pagi karena takut jika ia terlelap lagi, maka mimpi itu akan berkelanjutan.
Hari ini ia tidak pergi ke mana-mana, hanya berdiam diri di kamarnya dan merenung, berdoa kepada Tuhan agar setidaknya Milias tetap datang meskipun yang ia dengar adalah kenyataan yang pahit, ia hanya ingin bertemu Milias untuk yang terakhir kalau memang wanita itu benar-benar mengandung anaknya.
Sedangkan jauh di lain tempat, Milias kini sedang merebah di atas ranjang keras dari kayu dan hanya beralaskan tikar. Entah di mana ia sekarang, yang jelas ia sedang berada di tengah hutan, berada di gubuk yang ditinggali perempuan tua berumur— entah mungkin sudah 60 tahun lebih seorang diri.
Sejak kejadian itu, di mana malam seharusnya ia mengumumkan pernikahannya dengan Pangeran Wynno namun ia malah tertuduh telah menghamili wanita, ternyata Milias ditipu. Para gerombolan itu adalah orang-orang pesuruh yang menculik dan menganiaya dirinya hingga tidak mampu berdiri dan melawan lagi, beruntungnya ia masih bernafas hingga kini. Milias juga pintar karena saat sudah tidak mampu lagi membalas dan terjatuh, dengan tubuhnya yang terus diinjak-injak, ia berpura-pura mati, menahan nafasnya hingga salah satu dari gerombolan itu menyadari kalau dirinya tak bernyawa sebab sudah tidak bergerak sedikitpun dan nafasnya menghilang, akhirnya mereka pergi secepat mungkin tanpa bersusah-susah mengubur dirinya atau menutupi tubuhnya dengan apa pun. Setidaknya ia beruntung karena ditinggalkan begitu saja, ia masih memiliki harapan untuk kembali.
Milias ingat saat itu, tubuhnya terasa remuk sekujur, langkahnya terseok mencari jalan keluar hutan saat ia bertemu sang Nenek yang berbaik hati ingin menolongnya. Dan di sinilah dirinya sekarang, menyembuhkan diri dengan obat-obat herbal dari racikan Nenek dan berisitirahat untuk memulihkan staminanya.
Terdengar langkah kaki mendekat, dan benar saja itu sang Nenek yang membawakan satu piring makanan juga satu gelas untuknya minum. Milias bergegas mendudukkan dirinya, tersenyum kecil menyambut Nenek.
“Makan dulu, Milias, setelah itu aku bantu untuk mengobati lukamu,” titah sang Nenek.
Milias mengangguk pelan lalu menjawab, “Terima kasih, Nek, aku berhutang banyak padamu.”
Sang Nenek hanya tersenyum menanggapi, kemudian kembali duduk dan sibuk menyiapkan obat-obat racikannya di sudut lain ruangan itu.
Genap sudah satu bulan lamanya Milias menghilang, Wynno rasanya hanya mampu berpasrah meski kepalanya sudah penuh dengan asumsi-asumsi buruk. Ia masih berusaha untuk menerima kejadian yang menimpanya belakangan ini.
Wynno kini menyibukkan dirinya dengan melukis, ia masih enggan untuk pergi keluar dari Istana dan bertemu banyak orang, dirinya belum siap untuk mendengarkan gunjingan di luaran sana. Jadi ia hanya akan melakukan aktivitasnya di dalam kamar dan di dalam Istana saja.
Terdengar ketukan pada pintu kamarnya, Wynno memberi sahutan pelan, “Ya? Siapa?” namun tak ada jawaban dan ketukan terus terdengar. Dengan sedikit malas Wynno berjalan mendekati pintu bermaksud membukanya.
Jemarinya memutar gagang, membuka sedikit celah untuk sang tamu. Kepalanya menunduk karena sejujurnya Wynno enggan diganggu, “Ada perlu apa?”
“Apa kabar, sayangku? Tidak rindu aku?”
Suara itu… suara Dukenya. Dengan cepat Wynno mengangkat kepalanya, menatap lekat pada lelaki yang saat ini hanya mengenakan pakaian kasual dan terlihat sedikit lusuh. Segera ia rengkuh tubuh yang satu bulan lamanya tidak ia jumpai, membuat kekehan hangat menguar dari bibir Milias.
“Kamu kenapa lama sekali, Duke… Aku cemas, aku khawatir, kamu tahu?” lelehan air mata berhasil lolos dari manik cantik sang Pangeran, menangis tersedu di dalam dekapan hangat Dukenya. Hidungnya sesekali menghirup aroma khas dari tubuh Milias, ia sangat merindukan wangi yang menjadi candunya itu.
Milias membelai pelan rambut Wynno yang saat ini sudah sedikit panjang, lalu bergumam, “Maaf, Prince. Aku terlalu lama ya kembalinya?” dan Wynno hanya mengangguk tanpa menjawab.
“Aku mau bercerita tentang semuanya, kita duduk dulu, boleh kah Pangeran?” lagi Milias berujar, tangannya kini menepuk perlahan punggung Pangerannya.
“Mhm, iya boleh, Duke,” Wynno melepas rengkuhannya dan beralih menarik pelan pergelangan Milias yang tampak sedikit kurus.
Wynno dan Milias duduk bersila di atas ranjang, saling berhadapan dengan tangan yang juga saling menggenggam. Milias memulai ceritanya, dari awal ia yang sadar dirinya sedang diculik ke antah berantah hingga ia yang ditolong seorang Nenek-nenek di tengah hutan sana. Ia bercerita secara rinci, dan Wynno kembali mengurai air mata saat mendengar Dukenya itu dipukuli tanpa belas kasih.
“Mereka jahat sekali, Duke…” lirih Wynno, Milias yang melihat Pangerannya menangis kembali pun kini mendekap tubuh yang nampak rapuh itu, mengusap penuh sayang punggungnya menghantarkan kehangatan.
“Kamu tahu siapa yang melakukan itu kepadamu, Duke?” Wynno yang masih di dalam dekapan Milias melontarkan pertanyaan. Milias pun mengangguk pelan, “Aku tahu, Pangeran, mereka dari kerjaan East Arden, kuda yang mereka tunggangi memiliki tanda kerajaan dan aku sempat melihatnya,” jelas Milias.
“Benar kah? Bukannya Raja mereka berteman dengan Raja Winston?” Wynno benar-benar terkejut karena ia juga mengetahui siapa pemimpin kerajaan tersebut, dan sejauh pengetahuannya, Ayah Milias dan Raja dari East Arden berteman cukup baik.
“Entah, aku juga tak tahu apa motif mereka menculikku begitu. Mungkin ada yang memiliki dendam padaku.”
Pelukan keduanya terlepas, dan Wynno sudah berhenti dari tangisnya. Guratan emosi nampak jelas di wajahnya, ia berniat akan melaporkan kejadian ini pada Ayahnya, agar nanti Ayahnya bisa berembuk dengan Raja Winston untuk memberikan balasan setimpal pada East Arden. Namun tindakannya dicegah, Milias menarik pergelangannya saat ia hendak turun dari ranjangnya dan Wynno kembali bersimpuh, menatap penuh tanya pada sang Duke.
“Aku mau lapor Ayah, Duke. Hanya sebentar, tolong lepaskan dahulu tanganku,” pinta Wynno, yang hanya diberi gelengan oleh Milias.
“Itu nanti saja, aku masih rindu.”
Hilang sudah hasrat Wynno untuk beranjak dari kamarnya, pipinya bersemu mendengar ungkapan dari Dukenya, “Baiklah kalau begitu…” ujar Wynno lirih.
Milias menarik tubuh Pangerannya, mendudukkan tubuh ringkih itu di atas pangkuannya, “Kamu sedikit kurus, tidak makan dengan baik, ya?” tanya Milias.
“Bagaimana bisa aku makan dengan baik sedangkan kamu tidak ada kabar sama sekali, huh?” dengusan sebal Wynno berikan, membuat Milias tersenyum dan mengeratkan dekapannya.
“My apologies, Your Highness,” kecupan pada dahi Pangerannya Milias layangkan, lagi-lagi membuat Wynno tersenyum.
“It’s not your fault, Duke. Jangan pernah hilang dari jangkauanku lagi, ya?” tampak mata Wynno memohon, dan Milias lemah dibuatnya. Dengan gemas ia kecup seluruh permukaan wajah Pangerannya hingga sang empu mengerang pelan.
“Tentu, aku tidak mau jauh-jauh darimu lagi. Kita menikah besok, ya?”
“Mana bisa begitu, Duke!” Wynno berseru ketika mendengar ucapan dari kekasihnya, mana mungkin bisa acara yang ia yakini akan tergelar dengan sangat megah dan membuatnya lelah itu mampu disiapkan hanya dalam semalam, sangat mustahil.
Milias tertawa melihat lelaki yang sedang berada di pangkuannya itu bersungut kesal sebab ucapan asalnya, “Aku hanya bercanda, Pangeranku. Kasihan juga para pekerja yang menyiapkannya nanti.”
“Makanya jangan mengada-ada!” Wynno masih pada intonasi kesalnya, dan Milias kembali memeluk erat sembari menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan kiri yang mau tak mau Wynno pun mengikuti pergerakannya sebab tubuhnya sedang dikunci erat oleh sang Duke.
“Prince… May I kiss you?” Milias bertanya meminta izin, membuat tubuh Wynno menegang sedetik kemudian mengangguk, “Sure, I’m yours tonight.”
Pada akhirnya dua ranum itu saling menjamu, menyapa malu-malu dengan lidah yang bertemu dengan bilah bibir salah satu, saling menyecap menumpahkan kerinduan yang menggebu. Menggigit halus juga sesap pada ranum yang terkasih silih berganti, menciptakan erangan pelan yang menguar begitu bebas. Pula, saling menyerukan nama satu sama lain saat penyatuan keduanya terjadi di tengah-tengah gairah yang semakin meninggi.
Biar saja keduanya melebur menjadi satu, menuangkan sayang dan rindu yang tertahan sejak berminggu-minggu lalu.
Biar saja keduanya menciptakan letupan bungah yang mengisi penuh pada kalbu.
Bergemuruh candu.