Gatot — Wonu : Vulnerable.
wonu’s point of view.
Aku bersenandung kecil saat memasuki rumah. Sepi. Selalu seperti itu dan aku sudah sangat terbiasa. Ngomong-ngomong aku baru saja mengambil togaku di kampus, lusa nanti aku akan wisuda! Setelah banyak proses yang harus aku ikuti, dan sempat stress karena skripsi, akhirnya satu bebanku terangkat juga. Yah... meskipun nanti ketika lulus pasti lebih berat dari ini kan? Sebut aku terlalu santai, karena memang— papa gak pernah menuntut apapun padaku. Katanya, “Adek, kalau nanti nggak buru-buru kerja juga gapapa. Yang penting Adek gak stress lagi ya? Papa tau gimana Wonu kemarin waktu kerjain skripsinya... maaf ya Papa gak bisa bantu banyak atau temani Adek terus kemarin.”
Sempat terpikir mungkin Papa sedang menebus dosa? Lebay kalau dibilang dosa, tapi ya begitulah. Selama ini, selama 22 tahun aku hidup, sejak kecil aku selalu diurus budhe dan mbak. Papa orang sibuk, beliau dokter spesialis neurologi sekaligus direktur di rumah sakit punya keluarga... iya, yang dipakai Mas koas sekarang. Sedangkan Mama, gimana ya aku bilangnya? Haha. Tapi, dari dulu aku memang gak pernah deket sama Mama, beliau sibuk sendiri dengan perkumpulannya dan Papa gak pernah tegur Mama untuk itu. Jadi, ya sudah?
Setelah meletakkan togaku di kamar, aku turun ke bawah berniat mengambil es krim untuk aku makan lalu mengabari Mas... Pasti dia sudah pulang, sebab di jalan tadi ponselku terus berbunyi tapi aku hiraukan karena tengah menyetir. Mas itu... bawel? Clingy—ya aku juga sih, tapi ada suatu waktu dia bisa lebih ceriwis dari aku, biasanya kalau lagi capek. Entah habis ketemu pasien yang memancing emosinya, atau ya konsulennya yang jadikan dia sebagai samsak untuk marah-marah. Kasihan sekali ya Masku ini.
Es krim sudah aku dapat. Tanganku merogoh saku, dan bodohnya aku baru menyadari kalau ponselku tertinggal di mobil. Ku langkahkan kakiku ke garasi setelah mengambil kunci di gantungan dekat pintu. Oh... Papa sudah pulang rupanya. Kami berpapasan di garasi, Papa tengah mengunci mobilnya lalu beliau mendekat dan mencium pipiku sejenak.
“Mau ke mana, Dek?” begitu tanyanya.
“Enggak ke mana-mana, cuma mau ambil hape, Pa. Tadi habis dari kampus, ambil toga. Papa inget kan kalau lusa Nu wisuda?”
Papa mengernyit. Aku bisa merasakan akan ada hal yang tidak kuinginkan muncul dari bibirnya, dan benar saja.
“Nu... Lusa ya? Papa ada acara, jadi salah satu pembicara juga di sana. Gimana ya, Dek? Gak mungkin Papa cancel juga.”
Ah... Tahan Wonwoo, jangan nangis dulu.
“Mama?”
“Nanti coba kamu telepon, Mamamu lagi di Jepang kan?” ya sudahlah, aku iyakan saja.
Papa masuk dan aku kembali ke tujuan awalku untuk mengambil ponsel. Mm, sekalian saja aku hubungi Mama.
Pada dering ketiga Mama baru mengangkat teleponku, begitu riuh di sana. Entah apa yang tengah dilakukan ibu-ibu itu.
“Ma?”
“Halo, adek. Ada apa?”
“Mama pulang kapan?”
“Mama di sini seminggu, Nu.”
Ku telan ludahku bulat-bulat, “Mama pulang bisa? Lusa Nu wisuda, Ma.”
Lama... Cukup lama Mama menjawab pertanyaanku, dan di sana kini terdengar lebih sepi. Mungkin Mama menjauh dari teman-temannya.
“Sayang...” ah, aku paham dengan nada bicaranya yang seperti ini. “Mama belum bisa pulang, Dek. Sama Papa aja gapapa ya? Ada Abang juga kan?” aku tertawa getir.
“Papa juga gak bisa. Padahal Nu udah bilang dari Nu selesai yudisium, kenapa ya kalian gak bisa luangin waktunya sehari aja buat Nu? Tapi yaudah, gapapa. Nu punya Abang, Mama have fun di sana. Bye—”
Aku matikan telepon itu sepihak, tidak sopan? Biar saja. Cup es krim yang sejak tadi ada di pangkuanku mulai mencair, aku tempelkan cupnya ke mataku bergantian, sensasi dinginnya mampu menghalau agar aku tidak menangis saat itu juga.
Mas... aku cuma butuh Mas sekarang.
Terburu aku menekan pin apartemen Mas. Pintu terbuka dan ada dia di sana. Kuraih tubuh dan bibirnya, meluapkan frustasiku melalui ciuman.
Aku tau pasti dia kebingungan sekarang, tapi Mas tetap diam dan terus saja mengikuti alur permainanku. Sampai akhirnya tangis yang sejak tadi kutahan luruh juga, baru lah dia lepaskan pagutan kami.
Nggak banyak yang aku ceritakan, tapi Mas tau apa yang membuatku seperti ini. Katanya nanti dicarikan solusi, entah apa itu tapi aku percaya.
Mas nggak nuntut penjelasan, gak banyak tanya waktu aku menangis tersedu di atas pangkuannya. Yang dia lakukan hanya memastikan aku nyaman di pelukannya, aku aman dalam jangkauannya.
Esoknya, ada Abang yang datang. Mungkin diberitahu Mas kalau aku ada di sini karena sejak semalam aku gak pegang ponselku sama sekali. Malas, buat apa? Yang ada cuma sakit hati saja karena bisa aku pastikan Papa mencari-cari keberadaanku.
“Abang bawain baju sama toga kamu. Donat juga, katanya mau makan ini kan? Abang beliin yang ada dancownya tiga tuh biar kamu puas makannya.”
Mataku berkaca-kaca lagi. Cengeng sekali ya aku ini.
“Sshh, jangan nangis lagi. Mata kamu udah bengkak banget, Nu. Maafin Papa sama Mama ya? Besok ditemenin Abang ya, Nu. Mingyu juga katanya udah ambil izin, gapapa ya?” aku cuma mengangguk, memeluk erat laki-laki pertama yang selalu ada untukku sejak aku kecil dulu.
“Nanti kalau Abang menikah, aku bagaimana, ya?” tidak aku suarakan, cukup ada di kepalaku. Nanti Abang jadi semakin terbebani karena aku.
Akhirnya siang itu aku habiskan waktu dengan menonton dan makan bersama Abang. Abang ambil cuti setengah hari katanya, kami banyak mengobrol tanpa menyinggung kedua orangtua kami, aku bersyukur karena Abang tau kalau itu cuma buat aku sedih.
Hingga matahari hampir terbenam dan Mingyu datang, baru Abang berpamitan pulang.
Hari yang dulunya sangat aku tunggu-tunggu pun tiba. Sejak subuh aku sudah terbangun, bergegas mandi lalu bersiap diri.
Wajahku jauh lebih baik dari kemarin, semalam Mas lagi-lagi mengompres wajah dan mataku dengan air dingin sebelum tidur.
Berbalutkan bathrobe, aku mulai merias wajahku sendiri. Semalam kita pergi ke mall, membeli beberapa kebutuhan untuk make up karena jelas milikku ada di rumah, dan kita memangkas rambut bersama.
Ada lengan yang melingkar di perutku, siapa lagi kalau bukan Mas? Matanya masih terpejam (aku melihatnya dari pantulan cermin), dia menggumam nggak jelas sebelum mengeratkan pelukannya.
“Mandi, Mas.”
“Sebentar, Nu…” dikiranya dia ini ringan ya?
“Mandi, nanti dapet cium.”
Nah kan. Dia langsung bangun, nggak gelendotan lagi.
“DP dulu, Yang?” aku terkikik geli, wajahnya sangat dekat denganku. I give him a peck on his lips. Tapi bukan Mingyu namanya kalau nggak ngelunjak, dia curi satu kecupan—melumat sebentar sebelum berlari ke kamar mandi.
Mas yang memasak sarapan pagi. Karena acara dimulai pukul sembilan, kami bergegas berangkat setelah makanan habis. Takut jalanan semakin padat merayap.
“Ini kita langsung? Nggak jemput Babeh sama Mami?” obrolan aku buka setelah hening sejak kami memasuki mobil.
“Gak, Yang. Babeh katanya nanti berangkat sendiri.”
Aku lihat ponselku, banyak pesan dari Papa dan Mama yang belum aku buka. Biarlah, toh isinya hanya permintaan maaf kalau dilihat dari pop-up notification.
“Mas?”
“Hmm?”
“Makasih ya… Nu gak tau kalau gak ada Mas bakalan kayak gimana. Mungkin Nu gak bakalan dateng ke acaranya, mungkin Nu sekarang masih di kamar nangis-nangis sendirian. Makasih banyak karena Mas mau usahain apapun buat Nu.”
Mas melirik sebentar lalu fokus menyetir lagi. Satu tangannya meraih milikku, digenggam dan diusap sebelum dia cium punggung tanganku.
“Jangan nangis lagi, udah ganteng begini nanti hilang gantengnya Nu.”
“Nu sayang sama Mas.”
Dia kecup lagi.
“Mas juga sayang.”
Senyumku nggak pernah luntur setelahnya. Sampai kami tiba di kampus, genggamanku gak sekalipun Mas lepaskan.
Hingga kami memasuki aula untuk acara, Abang belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku cuma hela napas panjang — ya sudahlah.
Mas yang paham hanya mengusap bahuku pelan, berbisik berkali-kali mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Dan kami berpisah karena aku harus duduk berderet dengan mahasiswa lainnya.
***
Semuanya berjalan baik sampai selesai. Aku cumlaude? Tentu saja enggak haha. Tapi bisa aku lihat Mas yang ada di kursi undangan sana tersenyum, dua jempolnya naik seolah mengatakan aku keren ketika di atas podium.
Setelah penutupan acara aku bergegas menghampirinya. Seolah lupa dengan masalah di rumah, aku tersenyum lebar dan jatuh ke pelukan Mas. Kepalaku ditepuk-tepuk pelan, “You did well, sayang. Your hard work finally paid off.”
“Mas makasih banyak…”
“Nanti aja makasihnya, Mas mau dicium sampai ping— AKH, YANG.” mulutnya emang sembrono, jadi aku cubit pinggangnya.
“Kalau ada yang denger gimana?!” dia cengengesan lalu melepaskan pelukannya.
“Keluar yuk, Babeh sama Mami udah nungguin, Eisa juga katanya baru sampai.”
Aku mengangguk dan kami bergandengan keluar dari aula.
Benar saja, ada Mami yang menyambut dengan heboh begitu melihat aku dan Mas. Wanita paruh baya itu memelukku dengan erat, mengucapkan selamat berkali-kali dan meninggalkan kecupan lembut di pipiku. Hatiku menghangat rasanya…
Babeh yang berdiri di samping Mas menyodorkan buket bunga yang cukup besar, beliau tersenyum seolah turut bangga padaku, “Wonu anak baik, anak pintar, selamat atas kelulusannya.”
“Wonu… boleh peluk?” aku mengucapkannya dengan pelan. Kalau boleh jujur, aku ingin menangis sekarang.
Babeh tidak menjawab, beliau segera membawaku ke dalam pelukannya. Tangisku pecah saat itu juga.
Kalau dibanding dengan Mami, aku dan Babeh bisa dibilang canggung? Meski aku tau beliau nggak pernah mempermasalahkan hubunganku dengan anaknya, tapi entah mengapa Babeh seperti susah untuk didekati. Jadi, dipeluk begini aku bisa merasakan jika beliau ini menerimaku dengan baik. Aku seperti punya sosok Papa yang lain, dan aku sangat bersyukur untuk itu.
“Wonu jangan sedih-sedih terus ya, Nu. Ada Babeh dan Mami, anggap kami berdua juga orang tua kamu ya?” kalimat ini nggak pernah aku sangka akan keluar dari mulut Babeh, semakin kencang pula tangisku dibuatnya.
“Ah, Babeh, pacarku jangan dibuat nangis dong. Mas udah effort kompresin mukanya semaleman itu.”
Aku buru-buru mengusap air mataku, dan melepaskan pelukanku pada Babeh.
“Kalau mau nangis peluk Mas aja,” duh posesifnya…
Mami dan Babeh cuma geleng kepala lihat kelakuan anaknya.
Ternyata ada dua orang lain di sana. Aku mengenal salah satunya. Eisa, teman Mas dan satu lagi… mungkin teman Mas juga?
“Wonu, happy graduation!” buket berisi coklat itu Eisa berikan padaku. Mataku berbinar tentu saja saat melihatnya.
“Waaa, thank you!”
“Yang, makannya sehari satu.” duh Mas ini mengganggu kesenanganku. Tapi aku lihat Mami mencubit perutnya haha, aku dibela!
“Apasih Mas, biarin Wonu lah mau makan berapa aja.”
“Gak sehat tau, Mi.”
“Mas Mingyu.” nah, ini Babeh yang bicara. Mas kicep saat itu juga. “Gak usah dengerin Masnya ya, Nu.”
Aku jawab dengan anggukan ucapan Babeh. Lidahku menjulur, mengejek Mas yang cemberut. Tapi tenang, aku nggak akan habiskan coklatnya dalam sehari juga kok!
“Dek?”
Abang… itu suara Abang.
Badanku berbalik ke asal suara. Benar, ada Abang di sana. Berdiri dengan buket bunga yang teramat besar, dan boneka kucing berwarna abu-abu memakai toga.
Matanya terlihat merah? Seperti habis menangis. Aku hampiri dia, kupeluk erat tubuhnya. Mengabaikan buket yang ia bawa terjatuh.
“Abang tunggu dari tadi, Dek… tapi gak bisa masuk karena Abang telat datangnya. Maaf ya?”
“Terus kenapa gak disamperin dari tadi?”
“Lihat kamu dipeluk ayahnya Mingyu, Abang jadi ngerasa bersalah karena gak bisa bawa Papa sama Mama…”
Bukan, itu bukan salah Abang.
“Abang seneng deh Nu lihat kamu dikelilingi orang baik. Maaf ya kalau Abang masih sering ninggalin kamu sendiri di rumah.”
Aku menggeleng cepat. Mau bagaimanapun Abang yang selalu menjagaku, yang paling berjasa di hidupku. Aku mengerti, aku tau Abang selalu mengutamakan aku ketimbang dirinya sendiri. Nggak sampai hati aku menghakimi.
“Nggak, Abang gak salah apa-apa. Jangan ngomong gitu Nu gak suka.”
Lama sekali kami berdua tenggelam dalam hening dengan tubuh yang masih menempel, aku istirahatkan kepalaku di bahunya.
“Yang…” bayi besarku akan rewel sepertinya, jadi aku lepaskan pelukanku dengan Abang.
“Mulai dah si Gatot,” Eisa yang berbicara, jengah mungkin dengan tingkah temannya ini?
“WON!”
Nyongi, alias Soonyoung berteriak dari kejauhan. Kami sama-sama lulus hari ini, jadi dia juga tengah memakai toga sama sepertiku.
Bocah ini yang membuat kehidupan kuliahku nggak monoton. Kita kenal dari masih maba ngomong-ngomong.
“Wah rame amat di sini.” satu-satu Soonyoung salami, termasuk Babeh dan Mami.
“Libur, Bang?” Soonyoung memang kenal Abang dari dulu.
“Iya nih, Soon. Cuti buat si Adek.” aku tersentuh…
“Bonyok mane, Bang?”
Senyumku luntur seketika.
“Mending kita makan siang sekarang, laper banget perut gua keroncongan.” aku menoleh pada lelaki yang paling tinggi di antara kami. Betul, Mingyu, Masku. Paham sekali ya dia denganku?
Akhirnya kami putuskan untuk makan siang bersama. Ada aku, Mas, Abang, Babeh dan Mami, Eisa dan Jun (aku udah kenalan tadi). Soonyoung nggak ikut karena mau merayakan kelulusannya dengan orang rumah dan Jihoon pacarnya. Iri sedikit, tapi yang aku punya sekarang lebih dari cukup.
“Pakai apa ya aku… Bajuku gak banyak kan Mas di sini?”
Aku sedang berada di depan lemari milik Mas. Ada satu ruang berisi bajuku di sini, hanya beberapa untuk bepergian, selebihnya ya baju rumahan ataupun piyama.
“Yang simpel aja, Nu. Senyaman kamu.”
Mas udah selesai ternyata. Simpel sekali pakaiannya, cuma pakai jeans longgar dan polo putih, tapi kenapa jadi ganteng banget begitu?
Dia duduk di pinggiran kasur, sibuk bermain ponsel.
“Mas?”
“Kenap—”
Hehe ganteng begini sayang kalau nggak dicium, kan?
Adegan saling lumat itu berlangsung selama beberapa menit, bahkan lidah kami turut bermain.
“Yang, nanti gak jadi dinner ini mah. Mas yang makan kamu.”
Benar juga. Buru-buru aku berdiri dari pangkuannya, kembali mencari baju dan pilihan terakhirku jatuh pada turtleneck berwarna putih.
Kita mau makan bersama (lagi), by the way. Tapi kali ini pesertanya hanya aku, Mas, Abang, Babeh dan Mami.
Setibanya di restoran, sudah ada Abang di sana. Mingyu sapa Abang, keduanya berbincang cukup akrab… tumben?
Nggak lama Mami dan Babeh datang. Gak banyak obrolan sampai makanan tiba. Semuanya makan dengan khidmat, hingga hidangan terakhir disajikan baru lah suasana di meja lebih mencair.
Babehnya Mas basa-basi dengan Abang, bertanya seputar pekerjaan Abang, dan pada akhirnya mereka membicarakan soal bisnis Babeh. Babeh konsultasi dadakan tentang bangunan pada Abang. Aku hanya diam mengamati, sedangkan Mas dan Maminya membicarakan makanan yang tadi kami makan.
“Adek mau pulang sama Abang?”
Aku yang sedang bengong diberi pertanyaan begitu jelas terkejut. Mataku bertemu dengan Abang, lalu berganti ku tatap mata Mas. Aku belum mau pulang…
Mas yang paham pun menyela, “Biar sama gua dulu dah, Bang.”
“Mas Mingyu jangan ikutan, yang ditanya Wonu.” Babeh menyahut.
“Mau sama Mingyu aja boleh? Nanti Nu pulang sendiri kalau udah siap.”
Abang tampak murung di seberangku, tapi mau bagaimana? Aku malas pulang, nggak mau lihat Papa dan Mama dulu entah sampai kapan. Masih sakit rasanya.
“Yaudah… kalau Nu maunya gitu, tapi Abang dikabarin terus ya, dek?” aku mengangguk sebagai jawaban.
“Sebentar, bukannya Babeh nentang. Tapi kalau cuma berdua di apart nanti Wonu sama aja sendirian? Mingyu kan tetap koas.”
“Wonu di rumah Mami aja mau nggak? Mami kan tiap hari di rumah, jadi ada yang nemenin, Mami juga gak sendirian lagi di rumah. Babehnya Mas tuh gitu-gitu juga sering keluyuran.”
Pusing juga ya…
Tanganku digenggam Mas di bawah meja, usapannya menenangkan.
“Nanti Mas pulang juga ke rumah, Nu,” Mas berbisik pelan.
“Oke… Aku mau di rumah Mami.”
Bisa kulihat wanita paruh baya ini bertepuk tangan heboh, senyumku melebar karenanya.
Dan pertemuan malam ini diakhiri dengan Abang yang memelukku erat di basement.
“Jangan nakal kamu, Dek di rumah orang.”
“Mana pernah aku nakal???” aku mendengus, Abang tertawa.
“Pulang kalau bener-bener udah siap ya, Nu? Nanti Abang yang bilang ke Papa.”
“Nu sayang Abang…”
“Abang sayang Han…”
“ALAH, NYEBELIN.”
Kakiku menghentak berjalan ke arah mobil Mas. Mas yang sudah stand by di kemudi kebingungan melihatku cemberut ketika memasuki mobil.
“Kenapa, Yang?”
“Abang ngeselin.”
“Diapain kamu?? Tadi aja pelukan sampai nangis, kok sekarang marah-marah?”
“Ih tanya terus, pulang Mas, Nu pengen ciuman.”
“Ya Tuhan, Wonu…”