Bittersweet : little chaos, this is messed up (actually)
Gatot tidak tidur sejak pertengkaran dirinya dan Wonu, lebih tepatnya kesalahpahaman mereka kemarin, setelah kembali dari rumah Wonu yang disayangkan bahwa dia diusir dengan tidak ramah oleh Seungcheol. “Pergi aja, Wonu gak mau ketemu lo.” Lalu pintu rumah kembali ditutup.
Tindakan Seungcheol sangat bisa dimaklumi, mengingat masalah antara Gatot dan Wonu saat itu. Wajah Gatot tidak karuan, kepalanya penuh tidak tau harus bagaimana. Wonu menutup semua akses Gatot untuk menghubunginya. Selesai sudah pikirnya, benar-benar tidak ada harapan untuk dirinya menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Seharian Gatot memaksa dirinya untuk tetap produktif, belajar seperti biasanya.
Ini hari sabtu, harusnya pulang menemui Babeh dan Mami, tapi akan panjang urusannya jika mereka tahu bagaimana keadaan Gatot sekarang ini. Niatnya ingin menemui Wonu lagi malam ini, berharap Wonu mau menemuinya. Tapi ternyata nihil, Wonu tidak di rumah. Kosong, persis isi hati Gatot selama perjalanan pulang kembali ke unit apartment-nya.
Lalu di sinilah Gatot, bersama Hao dan beberapa temannya. Berharap liquor bisa membantunya tenang, membantunya tidur sejenak. Hao benar bisa diandalkan, bagaimana bisa dia dapat table saat malam minggu seperti ini? Entahlah, shoutout to Minghao. “Masalah apa lagi? Tumben lu sampe mau bayarin begini, biasa juga tepe-tepe.” Gatot menjatuhkan tubuhnya di kursi yang telah Hao pesan, “Jack Daniel, standar aja. Kalo mau yang lain pesen aja. Snack sekalian, gua belum makan dari pagi.” Niatnya untuk tidur nyenyak tidak main-main rupanya.
Dentuman musik keras khas club memekakan telinga, Hao dan yang lain sudah turun ke dance floor tapi Gatot tidak berminat. Entah gelas ke berapa, tapi botol miliknya sudah habis setengah. “Rame, tapi tetap sepi. Harusnya sekarang lagi sama Wonu keliling Braga atau makan sate kelinci. Tapi gak mungkin sate kelinci, Wonu sayang binatang.” Gatot kembali mengisi gelasnya yang kosong. “Wonu sayang binatang, sayang gua yang kek binatang.” Gatot sudah mulai kehilangan kesadarannya.
Satu yang tidak Gatot suka dari tempat ini, wanita-wanita yang datang menggoda, meminta disentuh atau hanya sekedar untuk duduk di sampingnya. Seperti wanita yang menggodanya sekarang, cantik memang, sexy juga, sempurna penampilannya. Wanita itu duduk, agresif tanpa perlu basa-basi meminta izin Gatot untuk duduk di sampingnya. “Heura, lo?” Pertanyaannya tentu mengarah pada Gatot. “Mingyu.” Jelas Gatot tidak tertarik. Tapi Heura acuh, tangannya memeluk lengan Gatot, mengusap bisep Gatot mencoba memberi rangsangan. Gatot gelisah, bukan karena tergoda, tapi merasa tidak nyaman. “Gua gak tertarik with your pussy, girl. Mending lo stop.” Heura tertawa, “So, you’re gay?” lalu dia naik ke pangkuan Gatot. Menarik tengkuk Gatot, “Cobain sama gua dulu baru putusin lo suka lobang gua atau cowo-cowo di sana.” Belum sempat Gatot menjawab, bibirnya sudah dilumat rakus. Gatot yang dipenuhi alkohol itu membalas lumatan. Tenggelam dalam cumbuan, lengan Gatot telah melingkar pada pinggang si wanita. Tapi pikiran Gatot penuh dengan Wonu, bagaimana jika Wonu tahu? Bagaimana jika Wonu tau dia tidak lebih dari bajingan lain yang pernah dia kenal? Penuh dengan bagaimana jika semua hal buruk tentang pandangan Wonu terhadap dirinya. Tapi, biarkan Gatot seperti ini dulu.
Tubuh keduanya panas, saling mencumbu, semakin dalam dan Gatot sadar jika dilanjutkan, mereka akan berakhir di kamar hotel. “Lo bilang gak suka cewe, kenapa bisa tegang gini, hm?” Persetan, Gatot terus meraba, menyecap sang lawan. “Diem atau stop sekarang.” Belum sempat kembali bercumbu, wanita dipangkuan Gatot terjungkal ke belakang. Ada yang menariknya. Heura dijambak, ditarik ke belakang hingga terjungkal. “Awhh.. Apaan sih anjing,” Heura berteriak, menarik perhatian pengunjung lain dari meja sekitar. “Pergi lo.” Itu Wonu, ketakutan Gatot benar terjadi dan kesadarannya kembali sepenuhnya. Kemudian tangan Gatot ditarik, dituntun keluar dari bar menuju mobil Wonu dan dibawa entah ke mana. Gatot pasrah, dia salah besar kali ini, benar-benar tidak bisa dimaafkan dan dia sadar 100%.
Mendapat kabar nggak mengenakkan dari Soonyoung membuat Wonwoo tanpa pikir panjang meraih kunci mobil dan menyambar asal jaket yang tergantung. Jemarinya dengan cepat mengetik pesan kepada Abangnya berpamitan untuk pergi sebentar sebelum menginjak pedal dan meninggalkan rumah.
Wonwoo mengendarai mobilnya cukup kencang agar cepat sampai ke Club yang didatangi Mingyu. Langkahnya tergesa, bahu lebarnya pun berulangkali menabrak orang-orang yang ada di dalam tempat bising itu. Mencari sosok jangkung yang kemarin membuatnya merasa sudah berada di ambang batas.
Bangsat!
Satu umpatan penuh emosi meluncur dari bibir Wonwoo. Matanya menatap nyalang pada lelaki di ujung sana yang sedang bercumbu dengan seorang jalang. Marah tentu saja. Maksud hati agar Mingyu introspeksi diri tapi apa yang ia dapat? Manik kelamnya itu harus melihat pertunjukan tak senonoh, Wonwoo harus menelan ludahnya susah payah agar tak menangis saat itu juga ketika menyaksikan Mingyu meraba-raba tubuh wanita yang ada di pangkuannya.
Dengan napas yang memburu pula Wonwoo hampiri dua insan yang tak lagi sadar akan sekitar. Wonwoo genggam surai panjang wanita di pangkuan Mingyu, menariknya sangat kencang hingga sang empu terjungkal. Amarah yang menguasai tak lagi membuat Wonwoo memiliki empati untuk memperlakukan perempuan dengan lebih halus. Wonwoo nggak peduli.
“Pergi lo!” Dua kata penuh penekanan itu membuat wanita yang tadi bercumbu dengan Mingyu segera berlalu dari sana diiringi umpatan kasar untuk Wonwoo, namun Wonwoo acuh dan kini hanya terfokus pada Mingyu yang nampak terkejut seolah kewarasannya ditarik paksa kembali setelah mendengar suara Wonwoo.
Hening.
Mobil yang dikendarai Wonwoo dan Mingyu hanya terisi dengan suara dari mesin juga deru napas masing-masing. Keduanya bungkam hingga Mingyu menyadari ke mana tujuan mereka kali ini.
“Ke hotel?? Ngapain, Nu??”
“Buat hapus jejak-jejak lonte lo tadi.”
“Nu tapi gu—”
“Diem bisa gak?”
Wonwoo dan ucapan ketusnya membuat Mingyu bungkam. Terdiam pasrah mengikuti Wonwoo yang sedang memesan kamar di resepsionis. Kunci kamar sudah didapat, Wonwoo kembali menyeret Mingyu begitu cepat.
Begitu sampai ke dalam kamar yang ia pesan. Entah setan apa yang merasuki, Wonwoo mendorong tubuh Mingyu cukup kuat. Menindih badan yang lebih besar darinya itu, menyatukan ranum miliknya dengan milik Mingyu.
Mingyu tidak membalas ciumannya. Hanya membiarkan Wonwoo bertindak semaunya karena tahu laki-laki yang berada di atasnya itu tengah kalut dan emosi.
“Kenapa nggak bales? Gue gak sejago cewek tadi?”
“Wonu... Gak gitu—”
“Bales, Mingyu!”
Bibirnya bergetar, matanya sudah berkaca-kaca namun Wonwoo menahannya sebisa mungkin agar tak menangis. Kembali ia tautkan bibirnya pada bibir Mingyu. Kembali melumat dengan kasar seolah benar-benar ingin menghapus jejak si jalang yang tadi mengotori ranum Mingyu. Kali ini Mingyu turut hanyut pada ciumannya. Kepalang rindu dan Mingyu nggak ingin kehilangan kesempatan itu.
Ciuman Wonwoo turun menuju leher Mingyu, meninggalkan jejak basah juga merah. Meski perempuan tadi belum sempat meninggalkan bekas pada leher Mingyu, tetap saja Wonwoo ingin menandai lelaki di bawahnya ini. Agar dunia tahu jika Mingyu itu miliknya, hanya milik Wonwoo dan orang lain nggak berhak untuk menyentuhnya.
“Wonu— hey, Sayang stop.”
Mingyu tarik bahu Wonwoo agar menjauh darinya, karena Mingyu tahu kegiatannya akan mengarah ke sana kalau dia diam saja. Mingyu tidak ingin mengikuti alur permainan Wonwoo yang sedang digeluti oleh emosi. Memilih membawa Wonwoo ke dalam pangkuannya, ibu jarinya mengusap lembut pipi gembil favoritnya itu.
“Kamu udah gak marah?”
“Masih.”
“Terus kenapa datengin aku?”
“Kamu mau main sama sembarang orang, Mingyu?!” nadanya meninggi, pelupuk matanya basah dan Wonwoo sudah tidak ingin menahannya lagi. “Pakai aku, Mingyu! Pakai badanku semau kamu—”
Kali ini Mingyu yang mencium Wonwoo terlebih dahulu, menghentikan perkataan sembrono dari laki-laki yang disayanginya ini.
“Gak, Nu. Kamu lagi emosi, itu cuma kemauan sesaat. Nanti kamu nyesel.”
Tangis yang ditahan-tahan Wonwoo sedari tadi pun luruh juga. Raungannya mengiringi kepalan tangan yang memukuli bahu Mingyu cukup kencang, melampiaskan emosinya di sana.
“Jahat... Kamu jahat banget, Mingyu...” terdengar lirih dan menyayat hati. Mingyu dekap tubuh Wonwoo semakin erat, membisikkan puluhan maaf. Mingyu benar-benar menyesal.
“Nu, dengerin aku dulu ya? Aku mau jelasin yang kemarin.”
Wonwoo hanya diam dan Mingyu anggap itu sebagai persetujuan.
“Kamu inget kan kemarin aku habis ujian? Aku lupa kabarin hasilnya ke Babeh dan akhirnya aku ditelepon. Diminta ke rumah buat kasih lihat hasilnya tapi aku bilang gak bisa karena udah ada rencana sama kamu. Babeh marah, Nu. Aku bisa apa?”
Wonwoo tatap manik Mingyu lekat, mencari kebohongan yang hasilnya nihil. Napasnya mulai teratur dan tangisnya pun berhenti meski sesekali masih sesenggukan.
“Salahku juga emang gak kabarin kamu. Aku panik, aku takut Babeh larang-larang aku lagi. Jadi aku pulang dulu buat ngobrol sama Babeh dan Mami. Babeh seneng lihat hasil ujianku, Mami juga seneng karena saking senengnya Mami malah ngide buat masakin kamu waktu tau kita bakalan ke Bandung. Mami maksa dan Babeh bilang buat tunggu, aku lagi-lagi gak bisa nolak...
Aku emang bodoh banget, Nu gak kabarin kamu apa-apa dan cuma kepikiran kalau kamu bakalan ngerti. Aku salah banget bisa mikir kayak gitu... Padahal kamu juga pasti bisa capek ngehadepin aku yang gak jelas ini.”
“Mingyu, maaf...”
“Nggak, kamu gak salah. Wajar kamu semarah itu sama aku, aku gak belajar dari yang dulu-dulu buat perbaiki komunikasiku ke kamu.”
Wonwoo tenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Mingyu. Ia juga merasa bersalah karena telah bersikap childish dan tidak mau mendengar penjelasan Mingyu. Suara air conditioner memenuhi ruangan, terlampau sunyi sebab dua anak adam yang ada di sana hanya terdiam dalam pelukan.
Mingyu berdeham memecah sepi, menjauhkan tubuhnya dari dekapan sang terkasih lalu menangkup wajah kecil yang ada di hadapannya.
“Aku tau ini waktu dan suasananya kurang tepat, tapi aku takut kalau ditunda bakal gimana lagi endingnya. Nu, ayo jadian? Ayo punya status? Astaga aku gak pernah nembak orang jadi bingung ngomongnya gimana. Nu, ini aku nembak kamu. Aku perjelas, aku mau kita punya status. Supaya kamu yakin, ini beneran jadian bukan cuma sayang-sayangan doang kek yang kamu pikir itu. Beneran ini jadian.”
“Yakin banget ngajakin jadian, emangnya aku mau?”
“Wonu…”
Gelak tawa terdengar dari Wonwoo. Hidungnya mengkerut lucu karena puas menertawai Mingyu yang terlihat sedih itu.
“Bercanda, sini cium lagi.”
Mingyu gigit gemas bibir bawah Wonwoo sebelum menyatukan ranum keduanya. Membagi hangat melalui lumat yang lembut, saling mendekap tanpa ada niat untuk melepas.
Keduanya melebur menjadi satu di tengah malam yang temaram.
Written by Melampauw and Asmwaraloka