Amarah,

Asmaraloka.
4 min readJun 7, 2023

--

Part of Keluarga Cemara.

Gala memasuki rumahnya dengan amarah yang sudah ia tahan sejak siang, langkahnya menggebu, bahkan ketika sang suami menyambutnya, Gala tidak mau repot-repot memberikan kecup seperti biasanya. Membuat suasana di kediaman Gala terasa dingin dan mencekam.

Kala yang diabaikan sang suami hanya mendesah kasar, dengan tangan yang tak berhenti mengusap perutnya yang terlihat sudah membesar, ia berjalan mengikuti sang suami yang kini mendatangi kamar anak lanangnya.

Diketuknya pintu kamar Chandra dengan tidak sabaran, hingga si empunya kamar memperlihatkan wajahnya yang tengah menunduk.

“Masuk,” perintah Gala dengan tegas, langkah kakinya masuk ke dalam kamar puteranya begitu juga dengan Kala yang senantiasa mengawasi dari belakang.

Chandra hanya bisa patuh lalu duduk di atas ranjang dengan sang Ayah yang berdiri bersedekap di depannya, membuatnya semakin tertunduk memainkan jemarinya cemas.

“Kenapa merokok, Chandra?” tanya Gala, Kala yang mendengar nada suaminya sedikit meninggi berusaha membelai punggung suaminya pelan untuk meredam emosinya.

“Maaf, Ayah...”

“Ayah gak butuh maaf, Ayah tanya, kenapa kamu merokok Chandra?” ucapan tegas Gala membuat puteranya ingin menangis, tubuh Chandra sudah bergetar menahan air mata yang sudah terkumpul di sudur matanya.

“Diajak teman...” sahut Chandra dengan lirih.

“Terus kamu bisa dengan seenaknya mengiyakan ajakan teman padahal kamu tahu kalau kamu baru— hampir empat belas tahun sedangkan merokok dibawah umur itu tidak dibenarkan? Iya?”

“Maaf, Ayah... Chan tidak akan mengulangi lagi, maaf...”

“Kamu tahu Papamu sedang hamil, kamu merokok bahkan cuma sisa-sisa asap yang nempel di baju kamu itu juga gak baik buat kandungan Papa, kalau adik kamu nanti kenapa-kenapa gimana, Chandra?”

“Mas... Ssh aku gakpapa, udah ya?” Kala berbisik pelan, jemarinya meremat pelan lengan suaminya.

Gala mendengus pelan, rahangnya mengeras, “Kamu diam dulu, Kala,” perintahnya dan Kala menciut lalu pada akhirnya hanya terdiam tak berani membantah lagi.

“Maaf, Ayah, Chan tidak berpikiran sampai sana, Chan sudah lalai, maaf— hiks...” pecah sudah tangis lelaki kecil itu, membuat Kala mendatanginya dan memeluknya mencoba menenangkan.

“Ayah sudah... Adeknya sampai nangis begini, maaf, ini salah aku juga gak bisa ngawasin Chan dengan baik,” ucap Kala memohon, matanya sendu menatap sang suami.

“Kamu jangan manjain dia terus, Kala. Lihat itu, jadi seenaknya. Merokok di umur yang bukan seharusnya, dengan embel-embel diajak teman, merasa keren kah kalau merokok di usianya sekarang?!” nada tinggi dari Gala di akhir membuat Kala tersentak, jantungnya berdenyut dengan kencang, jemarinya gemetar.

“Ayah, jangan bentak Papa!” Chandra yang melihat papanya gemetar pun menjadi berani, “Ini salah Chan, bukan Papa! Jangan bentak Papa! Marahi Chan, Chan yang salah!” seru Chandra, tangisnya terhenti dan kini wajahnya memerah, mengeras emosi.

Kala menangis di pelukan anaknya, ia terkejut tentu saja, karena selama ini, selama mereka berdua menjalin hubungan hingga menikah dan mempunyai anak, Gala tidak pernah sedikitpun meninggikan suaranya, Gala tidak pernah membentaknya, jelas saja ini cukup membuat dirinya takut hingga gemetar. Kala tidak terbiasa mendapat bentakan, hatinya terasa seperti tersengat, sakit, sesak.

Gala yang masih dikuasai amarah hanya diam melihat suaminya menangis, mengepalkan tangannya di kedua sisi menahan murkanya.
Sungguh dirinya juga tidak bermaksud membentak suaminya, ia sedang berada di puncak emosinya hingga tidak sadar sudah meninggikan suaranya. Gala sudah lelah, dari pagi dipenuhi dengan agenda meeting karena peluncuran produk baru, bahkan sempat beradu argumen dengan para staff juga atasannya. Harinya sudah buruk ketika ia menginjakkan kakinya di kantor, lalu tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba ia diberi kabar kalau anaknya melakukan hal yang tidak wajar dikalangan anak seusianya. Semua kejadian itu cukup memantik amarah Gala, kepalanya serasa pecah saat itu juga.

Dengan gontai Gala melangkahkan kakinya keluar kamar, membanting pintu dengan keras, membuat Kala berjengit kaget di sela-sela tangisnya.

“Papa... Papa maafin Chan, Chan udah jadi anak nakal, maafin Chan ya, Papa,” Chandra bersimpuh di kaki Papanya, kembali menangis tersedu di sana memohon ampun.

“Iya, sayang... Maafin Papa juga kalau kurang perhatian dengan Chan, ya?” balasan dari Kala terdengar lirih, ia belai lembut surai puteranya.

“Maaf, Pa... Chandra janji tidak akan mengulangi lagi, janji,”

“Memangnya sejak kapan Chan merokok? Adek kalau ada masalah bisa cerita ke Papa, jangan lari ke hal-hal seperti itu, Papa sedih,” pertanyaan dari Kala membuat Chandra meragu, ingin menjawab dengan jujur namun takut juga akan reaksi sang Papa.

“Papa jangan marah, ya?” pinta Chandra, dan Kala mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Sejak adik di perut Papa mulai besar... Papa jadi tidak terlalu perhatian pada Chan, Papa jarang sekali membuatkan bekal untuk Chan padahal Chan senang sekali kalau Papa bawakan bekal kesukaan Chan,”

“Papa jadi lebih sering di kamar, tidak menemani Chan mengerjakan PR dan membantu lagi, padahal Chan juga kesusahan tapi Chan tahu kalau Papa sekarang mudah lelah karena adik sudah besar, Chan tidak ingin merepotkan,”

“Chan sedih... Ayah juga sekarang seperti lebih sayang pada Adik saja, sewaktu Chan minta mainan Ayah tidak membelikannya, padahal dulu Ayah selalu menuruti maunya Chan, malahan Ayah tiba-tiba membeli banyak boneka untuk Adik, Chan sedih Papa...”

“Chan takut kalau Papa dan Ayah lebih sayang pada Adik dan Chan ditelantarkan tidak diperhatikan lagi,”

Tangisan Kala semakin kencang mendengar penuturan anaknya, merasa bersalah karena ternyata ia juga ikut andil menjadi penyebab dari anaknya berani merokok saat dirinya bahkan masih menginjak kelas dua SMP.

Kala rengkuh anaknya, mengucapkan banyak kata maaf dalam bisikannya. Keduanya menyatu, meluruh bersama air mata yang tak hentinya mengalir, saling menggemakan maaf dalam dekapan.

--

--

Asmaraloka.
Asmaraloka.

Written by Asmaraloka.

Imajinasi yang tertuang menjadi kata; menyatu membentuk sebuah cerita. Apa yang ada di sini, jangan diambil hati, ya?

No responses yet